Pak Dien

Teman-teman di Rumah Kedua sebagian tahu betapa kadang saya bisa begitu bersemangatnya saat mengemukakan pendapat, terutama bila menyangkut hal-hal yang saya passionate about dan apa yang saya yakini benar. Peristiwa ini adalah salah satunya…

Saat itu kami sedang membahas nominasi karyawan yang extraordinary. Masing-masing peserta meeting mengajukan nama-nama yang diusulkan, dilanjutkan dengan diskusi singkat tentang alasannya. Sampai pada sebuah nama yang saya ajukan. Seseorang tidak setuju karena menurutnya saat menjadi bawahannya, orang yang saya usulkan tersebut tidak extraordinary. Saya berusaha menjelaskan alasan saya, tapi dibantah bahwa itu karena kepandaian saya berargumen. Lho kok? Saya mendadak tidak tahu harus berkata apa. Kemudian ada seseorang lainnya yang juga tidak setuju. Saya bingung mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah berinteraksi kerja dengan orang yang saya usulkan – karena tidak saja mereka ada di departemen berbeda yang jarang berinteraksi, tapi lokasi kerjanya pun berbeda kota. Menurut saya, kita harus benar-benar mengenal seseorang baru berkomentar, terutama untuk sesuatu yang konsekuensinya cukup serius. Dan komentarnya pun sebaiknya spesifik menyangkut kejadiannya seperti apa, kapan, dan seterusnya. Di saat berusaha berargumen, tak sadar saya lost my cool dan menjadi kzl kalau bahasa anak sekarang. :p Tiba-tiba Pak Dien berusaha menengahi dan menawarkan untuk voting. “Siapa yang setuju dengan Cindy?” Beliau sendiri langsung mengangkat tangan dan menyatakan setuju dengan saya karena meskipun beliau juga tidak terlalu mengenal orang yang bersangkutan, “tapi saya percaya pada (penilaian) Cindy.” Rasanya seperti disiram air dingin. Nyess-nya tuh di sini. Hehehe…

Sebenarnya aturan waktu itu adalah kita masing-masing punya final say. Seandainya tidak tercapai kesepakatan pun, saya dimungkinkan untuk tetap berpegang pada keputusan saya. Dan saya belajar banyak dari peristiwa hari itu: agar lebih mawas diri dalam bersikap dan berinteraksi dengan orang lain karena konsekuensinya tidak hanya saya pribadi yang akan menanggung, tetapi juga bawahan saya. Tapi yang tidak akan pernah saya lupakan adalah saat itu saya merasakan punya atasan yang setia. Merasakan dibela tanpa alasan yang ‘kuat’, selain hanya sekedar karena beliau percaya pada saya.

Ada setidaknya dua kejadian lain yang saya ingat, di mana keputusan saya dipertanyakan, tetapi bukannya ‘cuci tangan’, Pak Dien justru menegaskan bahwa “waktu itu saya juga setuju/tidak menentang keputusan Cindy.” Ini membuat saya merasa terharu, bersyukur dan terdorong untuk pay it forward. Salah satunya melalui cerita ini. Semoga ini menginspirasi lebih banyak lagi teman-teman di Rumah Kedua yang bersedia menjadi ‘tameng’ untuk bawahannya.

Pak Dien juga seorang teman berbincang yang menyenangkan. Saya yakin kita semua pasti punya setidaknya satu orang kenalan yang bisa selama tiga jam bercerita tentang dirinya sendiri dan sampai di akhir obrolan entah lupa bertanya tentang kita, atau melemparkan satu pertanyaan basa-basi tentang kita yang dia tidak simak jawabannya. Pak Dien bukan orang seperti itu. Atau ada juga sebaliknya, tipe yang pasif dalam perbincangan sehingga membuat kita merasa canggung dan terpaksa terus berbicara mengisi kekosongan atau buru-buru menyelesaikan percakapan. Pak Dien juga bukan orang seperti itu. Dan meski topiknya random, selalu saja ada hal menarik baru yang saya pelajari dari setiap percakapan. Mungkin karena Pak Dien seorang geek 😀 and I have always been fascinated by geeks. Saat menaruh minat akan sesuatu, mereka mempelajari aspek yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Deep and random. Jadi meskipun topiknya di luar minat saya awalnya, tapi sungguh menarik untuk disimak. Pak Dien juga seorang idealis and I have always had a deep respect for idealists. Saat seseorang memperjuangkan suatu hal yang prinsipil, you can’t help but rooting for him/her. Jadi kalau Pak Dien bercerita tentang apa yang sedang dipelajarinya, misalnya soal komunikasi dalam organisasi, saya menyimak tidak hanya karena hal itu menarik, tetapi juga karena barangkali memang bagus untuk dicoba terapkan.

Saya ingin mengakhiri dengan cerita tentang suatu saat ketika saya mengalami sebuah kejadian yang merupakan my very low moment di Rumah Kedua. Di saat saya merasa teramat sedih dan frustasi, Pak Dien berusaha membantu saya melihatnya dalam perspektif lain. “Suatu hari nanti saat Cindy menengok ke belakang, kejadian ini akan menjadi sekedar sebuah titik dalam garis panjang perjalanan hidup Cindy.” Ternyata benar. Banyak hal positif yang terjadi justru akibat kejadian itu. Kepindahan saya ke Aussie pun diawali dari kejadian itu. Saya berterima kasih diingatkan. Perbincangan hari itu sendiri juga lah satu titik dalam garis kehidupan saya, tapi satu titik istimewa yang akan terus saya kenang.

I wish you happiness in every form possible, Sir.

Leave a comment