Menang Lotere

Dulu sekali saya pernah mengeluh bahwa saya tidak pernah memenangkan undian apapun. Sampai suatu saat saya memandangi surat beasiswa saya: di situ tertulis total nilai beasiswa yang saya terima sebesar lebih dari AUD 80.000. Tiba-tiba saya tersadar dan malu … begitu tak tahu bersyukurnya saya.

Dalam hidup, semakin bertambah usia saya, semakin saya menyaksikan berbagai peristiwa hidup: dari yang manis sekali sampai yang pahit luar biasa. Itu semua membuat saya menyadari betapa banyaknya ‘lotere’ yang telah saya ‘menang’-kan.

Saya menang lotere tempat bekerja! Yeayy!!! Continue reading

Tulisan saya di buku Rumah Kedua

Disidang

Saat pertama kali bergabung dengan Nutrifood, proses seleksinya agak berbeda dengan yang berlaku sekarang. Waktu itu wawancaranya haya satu sesi, yaitu dengan Pak Januar selaku managing director dan Ibu Satriani selaku corporate secretary.

Selayaknya mahasiswa yang baru lulus, saya melamar dan menjalani wawancara di berbagai perusahaan. Saat itu Nutrifood menonjol dibandingkan yang lain, antara lain karena kesederhanaan Pak Januar dan Ibu Satriani yang sepintas terlihat dari pakaian dan gaya berbicaranya. Mereka berdua tidak tampak seperti pimpinan puncak sebuah perusahaan, tidak seperti bos, apalagi bossy. Rendah hati ya beliau-beliau ini, kesan saya.

Continue reading

Tulisan Fani di buku Rumah Kedua, unedited

Ini adalah tulisan berjudul “Perdana” yang dimuat di buku Rumah Kedua. Tak lama setelah buku itu terbit, Fani mengirimkan versi sebelum diedit. Thanks so much, Fan, will keep it in my heart where it’ll help when I’m feeling low. ❤

#pertama

Semuanya dimulai dari iklan kecil di Kompas yang mencari Brand Executive untuk NutriSari. Saat itu saya sudah 2.5 tahun bekerja di perusahaan farmasi dan merasa jenuh dengan idealisme palsu di industri ini. Lalu saya menulis surat lamaran dan dipanggil interview tak lama kemudian. Bertatap muka dengan 2 orang Managing Director – Mba Cindy as MD SBU NSI dan Pak Felix as MD HR membuat saya heran, kok MD2nya masi muda-muda sekali. Tapi yang bikin saya lebih surprise dan amazed adalah hari #pertama bekerja, saat menunggu di lobi saya melihat 2 orang karyawan datang dengan celana pendek (beberapa minggu kemudian baru saya mengenali bahwa mereka adalah mas Ave dan Vina :)). Saya berpikir ‘what the heck, kerja pake clana pendek??’ (maklum industry farmasi itu penuh keformalitasan). Tapi saya sangat excited dengan fakta ini, karena artinya ni perusahaan beda dari yang lain, menghargai orang bukan dari penampilannya tapi dari otak dan kualitas kerjanya. Dan saya sungguh menikmati kebebasan berekspresi lewat pakaian di Nutrifood ini. Nutrifood adalah perusahaan #pertama dimana saya merasa homey, di mana lagi coba bisa ngantor dengan jeans dan sandal jepit.

Bicara soal #pertama tak lengkap rasanya kalo tidak membicarakan soal bos #pertama. Bos #pertama saya mba Cindy. Saya dididik tentang marketing olehnya from zero to at least something. #Pertama bergabung di team brand, saya benar2 have no clue tentang term2 seperti awareness, trial, repeat, loyal, ATL, BTL, etc (can’t you imagine? Mungkin waktu itu mb Cindy sempat terpikir ‘salah rekrut ni kayanya’ hehe). Bahkan saya masi ingat buku #pertama yang mb Cindy suruh saya baca untuk belajar tentang brand management: “Building Strong Brand” by David Aaker. Selain menularkan ilmu marketing, mb Cindy juga menularkan passion-nya tentang brand dan konsumen. Saya konsumen NutriSari dari kecil tapi biasa konsumsi langsung serbuknya (di-gado) atau diminum dingin, sedang saat itu saya handle NutriSari Hangat. Dan saya ingat komen mb Cindy saat itu, “kamu harus biasain konsumsi NutriSari Hangat, gimana kamu mau jualan produk yang kamu sendiri tidak konsumsi? gimana kamu bisa tau perasaan konsumen kamu?” Gara-gara itu, setiap sore selama beberapa minggu saya selalu menyeduh NutriSari Hangat di kos, dari pencinta minuman dingin sampai menjadi cukup addicted dengan hangatnya Australian Lime:p

Continue reading

Pak Dien

Teman-teman di Rumah Kedua sebagian tahu betapa kadang saya bisa begitu bersemangatnya saat mengemukakan pendapat, terutama bila menyangkut hal-hal yang saya passionate about dan apa yang saya yakini benar. Peristiwa ini adalah salah satunya…

Saat itu kami sedang membahas nominasi karyawan yang extraordinary. Masing-masing peserta meeting mengajukan nama-nama yang diusulkan, dilanjutkan dengan diskusi singkat tentang alasannya. Sampai pada sebuah nama yang saya ajukan. Seseorang tidak setuju karena menurutnya saat menjadi bawahannya, orang yang saya usulkan tersebut tidak extraordinary. Saya berusaha menjelaskan alasan saya, tapi dibantah bahwa itu karena kepandaian saya berargumen. Lho kok? Saya mendadak tidak tahu harus berkata apa. Kemudian ada seseorang lainnya yang juga tidak setuju. Saya bingung mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah berinteraksi kerja dengan orang yang saya usulkan – karena tidak saja mereka ada di departemen berbeda yang jarang berinteraksi, tapi lokasi kerjanya pun berbeda kota. Menurut saya, kita harus benar-benar mengenal seseorang baru berkomentar, terutama untuk sesuatu yang konsekuensinya cukup serius. Dan komentarnya pun sebaiknya spesifik menyangkut kejadiannya seperti apa, kapan, dan seterusnya. Di saat berusaha berargumen, tak sadar saya lost my cool dan menjadi kzl kalau bahasa anak sekarang. :p Tiba-tiba Pak Dien berusaha menengahi dan menawarkan untuk voting. “Siapa yang setuju dengan Cindy?” Beliau sendiri langsung mengangkat tangan dan menyatakan setuju dengan saya karena meskipun beliau juga tidak terlalu mengenal orang yang bersangkutan, “tapi saya percaya pada (penilaian) Cindy.” Rasanya seperti disiram air dingin. Nyess-nya tuh di sini. Hehehe…

Continue reading

Mardi

Bapak yang satu ini adalah teman saya sejak pertama kali bergabung dengan Rumah Kedua. Karenanya, kecuali dalam situasi formal, saya memanggilnya dengan nama saja. Mardi.

Bahwa Mardi senang dan tekun belajar sudah merupakan rahasia umum. Tak hanya sekali, saat saya menasehati seseorang yang sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian, saya menceritakan tentang cara Mardi dulu belajar mempersiapkan tes GMAT sebagai contoh (selama beberapa bulan setiap pulang kerja mengurung diri di rumah untuk belajar!). Kenangan berikut ini tak terlepas dari sikapnya tersebut.

Continue reading

Mbak Sat

If I owe a penny for every kindness that I’ve received from Mbak Satriani, I’d be bankrupt. 🙂

Seperti cerita saya dalam buku Rumah Kedua, sejak awal bergabung saya telah merasa terbantu oleh Mbak Sat. Selanjutnya entah bagaimana prosesnya, tapi ‘default setting’ saya setiap menemui kesulitan selalu mengadu ke Mbak Sat. Mulai dari menyusul saya ke kamar mandi karena menangkap ‘sinyal’ bahwa saya kabur dari meeting karena tidak sanggup menahan tangis. Sampai mengantar saya ke Solo saat ada insiden dengan konsumen dan pers. (Jangan salah menyangka bahwa Rumah Kedua sering membuat saya menangis ya. Saya jauh lebih sering menangis menonton film kartun daripada karena pengalaman saya di Rumah Kedua kok. Baca: cengeng. :p) Mulai dari kebaikan yang saya terima sendiri dari Mbak Sat. Sampai ke tak sengaja menjadi ‘penyalur’ kebaikan Mbak Sat untuk orang lain. Suatu waktu saya memintakan bantuan untuk seorang tim saya dari dana yang dikelola oleh Mbak Sat sebagai komisaris Rumah Kedua. Tanpa berkedip Mbak Sat menyatakan persetujuannya. Saat saya menyampaikan kabar baik tersebut, si penerima bantuan begitu terharu dan senang sekali. Saya yang mendapat ucapan terima kasihnya. Padahal saya sungguh tidak berbuat banyak karena ibaratnya belum sampai saya menyelesaikan kalimat saya, Mbak Sat sudah menyetujuinya. Ini adalah salah satu momen paling berharga yang pernah saya alami di Rumah Kedua yang membuat saya melting dan merasa hangat di hati.

Continue reading

Stanley

Bapak yang satu ini saya antara kenal dan tidak kenal.

Saat kuliah S1, teman sekos saya adalah adik kelas Stanley, bahkan sempat diajar olehnya sebagai asisten dosen. Ditambah dua orang teman sefakultas saya juga bergabung di sebuah organisasi yang sama dengan Stanley. Jadi saya pernah mendengar sekilas tentang Stanley.

Saya bergabung dengan Rumah Kedua setahun setelah Stanley, jadi sampai sekarang terhitung telah belasan tahun saya mengenalnya. Tetapi kami nyaris tidak pernah berinteraksi dalam pekerjaan, kecuali beberapa bulan di tahun 1999 saat kami berada dalam tim yang sama yang bertanggung jawab untuk implementasi ERP software pertama Rumah Kedua, dan kemudian kami bergabung di Business Unit yang sama pula. Itu pun kami berbeda bidang: saya Manufacturing dan Stanley Finance.

Sampai hampir dua tahun yang lalu saat Stanley meminta saya menjabat sebagai Head of IT Division. Sejak itu Stanley menjadi atasan saya dan saya mulai benar-benar mengenal dia.

Continue reading

Felix — my guru

Felix adalah guru saya di Rumah Kedua. Saya paling banyak belajar darinya.

Entah kenapa.

Mungkin karena Felix suka mengutip ungkapan-ungkapan, dan saya suka ungkapan, sehingga tanpa disadari melekat di kepala saya. Mulai dari “Get what you like, like what you get”, “Semua indah pada waktunya”, “People quit their bosses, not the company” sampai ke “What doesn’t kill you makes you stronger”. Yang terakhir ini tidak sambil dinyanyikan kok :D, karena ini lama sebelum munculnya lagu populer itu. (Dan kutipan tersebut dari Nietzsche ya, bukan Kelly Clarkson. :p) “Get what you like, like what you get” misalnya. Ungkapan ini membantu saya untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak mengeluh, melainkan coba melakukan sesuatu yang ada dalam lingkaran pengaruh saya (get what you like). Bila sudah mentok tidak bisa, juga tetap jangan mengeluh, tapi berusaha menerima dan menyukai keadaan itu – karena toh saya sudah berusaha mengubahnya dan tidak berhasil, yang tersisa tinggal bersyukur (like what you get).

Continue reading

Junaidi – rekor berantem :p

Junaidi memegang rekor sebagai orang yang dengannya saya paling sering berantem dan menangis. Yaitu sebanyak dua kali. 😀

Satu kali saat dia menegur saya dengan nada keras di antara sekelompok orang Thailand, rekan kerja kita waktu itu, yang meskipun tidak mengerti bahasa Indonesia tetapi pasti menangkap nada suara dan ekspresi wajah kami. Saat kejadian itu saya sungguh malu dan kesal, tapi saya tidak sanggup berkata apa-apa. Namun setelahnya saya memaksakan diri untuk mengkonfrontasi Junaidi. Sambil menangis. Hehehe… (Saya sebenarnya suka menyayangkan kalau membaca berita tentang seorang pemimpin perempuan – seperti Ibu Risma misalnya – yang menangis saat menghadapi konflik. Kuatir dituding “tuh kan perempuan ya begitu”. Tetapi saya sendiri – meskipun kombinasi garang Macan dan Leo :p – juga sering gagal menahan tangis. Mau bagaimana lagi… hormon saya lebih kuat daripada logika saya.)

Continue reading

iGeekstribe – divisi IT Rumah Kedua a.k.a. the technology geeks

Ada tips yang menyarankan agar saat mewawancara calon karyawan, kita bayangkan seandainya terdampar di suatu pulau bersama orang tersebut. Akan kah kita tahan? Kalau jawabannya ya, baru boleh direkrut.

Saya certainly tidak keberatan terdampar di pulau bersama mereka-mereka ini. Kebayang terdampar di pulau pasti membosankan kan? Tapi bersama mereka, setidaknya akan merasa terhibur. (Lebih baik mati ketawa daripada mati bosan? Prinsip! :p) Karena mereka ini lucu sekali. Kalau orang per orang mungkin tidak segitunya (kecuali Yanto, Tipen, Chika :p). Tapi kalau sudah bersama-sama, astaga… :’)

Continue reading